Daerah  

Kuasa Sah Ditolak, Wartawan Senior Soroti Kekeliruan Administrasi di PA Surabaya

imamjoss22
Img 20250802 191941 copy 1076x852

SURABAYA — Praktik administrasi di Pengadilan Agama (PA) Surabaya kembali disorot setelah seorang pemegang Surat Kuasa Khusus ditolak mengambil salinan putusan perkara, meski secara hukum memiliki kewenangan yang sah. Penolakan ini memicu kritik tajam dari wartawan senior Hartanto Boechori, yang juga Ketua Umum Persatuan Jurnalis Indonesia (PJI).

Kejadian tersebut berlangsung pada Jumat, 1 Agustus 2025, ketika Boechori mendatangi PA Surabaya untuk mewakili anggota PJI yang sedang menghadapi gugatan cerai. Berdasarkan Surat Kuasa Khusus dari pihak tergugat, ia mengajukan permohonan salinan putusan perkara yang telah diputus secara verstek.

Namun, petugas pengadilan menolak permintaan tersebut dengan alasan bahwa Boechori bukan seorang advokat. “Padahal saya membawa Surat Kuasa Khusus yang sah, dan hanya ingin mengambil salinan putusan. Saya bukan orang asing dalam perkara ini, saya mewakili tergugat,” ungkapnya.

Permintaan Boechori sempat diarahkan ke bagian informasi dan pengaduan. Namun, setelah berkali-kali diminta menunjukkan dasar hukum atas penolakan tersebut, petugas tidak dapat memberikan penjelasan yang konkret. Proses berlanjut hingga ia diminta membuat surat pengajuan formal atas permintaan tersebut, yang menurut Humas PA Surabaya, Mustafa, harus melalui mekanisme permohonan informasi publik (KIP).

“Saya tidak mengajukan informasi publik. Saya membawa kuasa dari pihak tergugat untuk mengambil berkas yang secara hukum menjadi haknya,” tegas Boechori. Setelah beberapa kali interaksi dan negosiasi, akhirnya permintaan salinan putusan dikabulkan.

Boechori menegaskan bahwa penolakan tersebut tidak memiliki dasar hukum yang kuat. Ia merujuk pada Pasal 123 HIR (Herzien Inlandsch Reglement) yang masih berlaku di wilayah Jawa dan Madura, yang menyatakan bahwa pihak berperkara dapat mewakilkan kepada siapa pun dengan surat kuasa khusus, tanpa harus seorang advokat.

Selain itu, Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 2 Tahun 1959 juga menyebut bahwa salinan putusan dapat diberikan kepada pihak yang berkepentingan atau kuasa hukumnya yang sah.

“Tidak ada satu pun aturan yang menyebut bahwa kuasa hukum harus seorang pengacara. Bila itu diwajibkan, maka negara secara tidak langsung menghilangkan akses masyarakat kecil untuk mendapatkan keadilan,” katanya.

Boechori menggarisbawahi bahwa persoalan ini bukan semata kesalahan petugas di lapangan, melainkan mencerminkan masalah lebih besar dalam kebijakan internal peradilan.

“Petugas hanya menjalankan arahan. Yang perlu dievaluasi adalah sistem dan standar operasionalnya. Bila pengadilan sebagai institusi publik mempersulit akses keadilan, lalu ke mana rakyat kecil harus mengadu?” tuturnya.

Ia juga mengingatkan bahwa pengadilan adalah lembaga negara terbuka yang harus tunduk pada hukum.(Pji)